Selasa, 04 Desember 2018



KONDISI LEMBAGA PEMASYRAKATAN DALAM HUBUNGAN TIMBULNYA RESIDIVIS
(Sarana Prasarana Kurang Lengkap Sehingga Tidak Terampil)



Esa atas berkat dan karunianya saya dapat menyelesaikan masalah ini sehingga makalah ini ada seperti sekarang ini, saya juga berterimakasih kepada dosen saya Sahata Simamora SH. MHu. Yang telah memberikan tugas ini sehingga saya dapat belajar tentang Lembaga Pemasyrakatan lebih baik lagi yaitu melalui Mata Kuliah Penologi, saya juga mengucapkan terimakasih kepada orangtua saya yang selalu memberi semangat dan tantangan sehingga saya mampu sampai sekarang ini, saya juga tidal lupa berterimakasih kepada teman-teman sekalian yang memberi motivasi agar saya mampu bersaing di dalam kehidupan yang lebih baik.
   Pada makalah ini saya sebagai penulis membahas tentang Lembaga Pemasyrakatan khususnya tentang perlunya Fasilitas untuk memacu keterampilan dari para napi sehingga napi sudah siap untuk memulai kehidupannya ketika telah selesai menerima hukumannya dan lewat pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyrakatan dapat memanusiakan si napi agar dapat menjadi manusia yang lebih baik dan ketika di dalam masyarakat mampu mengembangkan dirinya terlebih menjadi lebih produktif dan mampu bersaing untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik lewat pembinaan yang dijalaninya sehingga ia dapat melakukan aktivitasnya seperti sedia kala. Penulis juga merasa kurang efektifnya Lapas di Indonesia dan pembahasan Lapas juga di situs internet sangat minim sehingga pengetahuan tentang lapas perlu dikenbangkan karena tujuan Lapas pada hakikatnya bertujuan untuk pembinaan seperti yang disebut Suhardjo sehingga memasyraktan si napi untuk menjadi manusia sejati dan berhak menerima hak dan kewajibannya.
   Dalam makalah ini penulis sangat menginginkan para pembaca dapat mendapat sebuah pengetahuan baru sehingga dapat memberi suatu kebaikan kepada masyarakat agar mempunyai pemahaman yang jelas tentang Lembaga Pemasyrakatan untuk mencega Residivis kepada seorang napi sehingga napi dapat disadarkan. Dibalik itu semua penulis meminta maaf  kepada pembaca dan penulis juga menerima kritik dan saran dari pembaca sehingga dapat terciptanya suatu pengetahuan yang baru dalam diri seorang pembaca dalam makalh ini , terimakasih
Pontianak,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………..………….…...ii
Daftar Isi………………… ………………………………………….…………….iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang …………………………………………………………….4
B.     Rumusan Masalah………………………………………………………….5
C.     Batasan Masalah……………………………………………………………6
D.    Tujuan Masalah………………………………………….…………………7
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan…………………8
B.     Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia…………………….……..10
BAB III PENUTUP
A.    Kritik ……………………………………………..………………………...21
B.     Saran……………………………………………..………………………….22
C.     Kesimpulan……………………………………..…………………………...23
DAFTAR PUSTAKA…………………………………..…………………………..24








BAB I PENDAHULUAN
Latar  Belakang
Dewasa ini telah kita  ketahui setiap napi atau pelaku criminal akan di masukan ke dalam lembaga pemasyarakatn agar menerima hukuman yang telah diperbuatnya sehingga Lembaga Pemasyarakatan sebagai Pembina sekaligus pemberi sanksi kepada napi yang terjerat hukum. Di  zaman sekarang ini istilah Penjara berangsur-angsur berubah seiring berkembangnya hukum dan kemajuan pemikiran manusia bahwa mansia memerlukan suatu pembinaan kepada para napi agar dikemudian hari si napi tersebut mendapat kehidupan yang layak dan mampu hidup layaknya manusia lainnya. Disinilah Lembaga Pemasyarakatan berperan dalam mengembangkan moral dan pribadi seorang napi agar mendapatkan pembinaan dan pelatihan yang lebih baik karena lewat pelatihan-pelatihan tersebut dapat memanusiakan para napi.
   Pada setiap permasalahan napi Lembaga Pemasyrakatan selayaknya mempunyai dukungan yang baik dari segi fasilitas dan pelatihan-pelatihan dari pemerintah sehingga masyarakat napi dapat mengubah dirinya kembali menjadi masyrakat biasa sehingga mampu beradaptasi. Perlunya suatu standar dari pemerintah terhadap suatu Lapas agar hal tersebut dapat tercapai sehingga memperbaiki tatanan masyrakat yang lebih baik, penulis membahas tentang  fasilitas yang efektif dan efisien terhadap Lembaga Pemasyarakatan sehingga kebaikan yang terjadi terhadap masa depan si napi terlebih perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil  sehingga meminimalisirkan tingkat Resdivis napi sehingga mampu hidup dalam masyarakat.
  Lewat makalah ini, penulis mengaharapkan pembaca agar mempunyai pengertian dan ilmu terhadap pembahasan makalah ini sehingga pembaca sesuatu yang baru sehinnga menambah informasi yang berguna dan dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Penulis juga meminta maaf karena kemungkinan adanya kesalahan penulisan dan pengertian  yang kurang jelas sehingga nformasi tersebut kurang terserap dengan baik.   
Pontianak, 2018

Rumusan Masalah
1.     Apakah Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan?
2.     Bagaimana kondisi Lembaga Pemasyrakatan di Indonesia?





















Batasan Masalah
Pada pembuatan Makalah ini penulis semata-mata membahas tentang keadaan suatu Lembaga Masyarakat yang efektif dan efisien, baik dari segi pelatihan dan pembenahan para napi agar menunjang perbaikan napi di dalam Lembaga Pemasyarakatan sehingga terciptanya suatu perbaikan  moral dan pengembangan keterampilan napi ketika napi telah selesai menyelesaikan hukuman sehingga dengan keterampilan tersebut, para napi dapat memperoleh keterampilan dalam bidangnya sehingga para napi dapat menjadi pribadi yang lebih baik ketika tersselesaikan hukumanya sehingga meminimalisir tingkat residivis di kemudian hari, Penulis juga hanya membahas tentang Lembag Pemasyarakatan yang berisi napi yang dewasa.















Tujuan Masalah
1.     Agar mengetahui Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan
2.     Agar mengetahui kondisi Lembaga Pemasyrakatan di Indonesia





















BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Dalam pengertian tentang Lembaga Pemasyarakatan terdapat beberapa pengertian tersendiri yaitu antara lain

1. Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1995

 Lembaga Pemasyarakatan  yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak DidikPemasyarakatan.

Sedangkan pengertian anak didik pemasyarakatan dalam pasal 1 ayat 8 yaitu
a)     Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di   LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
b)    Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c)     Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)tahun.
Pasal 1 ayat 7
Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilangkemerdekaan di LAPAS.

2. Lembaga Pemasyarakatan adalah badan yang dibentuk pemerintah dalam tatanan hukum yang mepunyai tujuan memanusiakan napi dengan kata lain mengembangkan moral dan dan ahlak melalui  pelatihan dan pengembangan sehingga terciptanya manusia yang seutuhnya ketika keluarnya napi dari masa tahanan (Priyade Sinaga).









Tujuan Lembaga Pemasyarakatan

1.     Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
2.     Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
3.     Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan / para pihak berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan.
Memahami fungsi lembaga pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi Narapidana (Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 1990, Departemen Kehakiman) meliputi:
1.     Pembinaan berupa interaksi langsung, bersifat kekeluargaan antara Pembina dan yang dibina.
2.     Pembinaan yang bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan.
3.     Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematika.
4.     Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernagara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.
Tujuan pembinaan Narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para Narapidana dan anak didik yang berada di dalam LAPAS atau RUTAN.



Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. ( Pasal 3 UUD No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan ).



B. Kondisi Lembaga Pemasyarkatan di Indonesia

Kondisi Lembaga Permasyarakatan di Indonesia mencerminkan penjara saat ini penuh dengan tahanan dan narapidana mengakibatkan kondisi kelebihan kapasitas yang memberikan susasan suntuk di dalam penjara.
Kondisi seperti mengakibatkan adanya sebuah kekhawatiran akan semakin penuhnya penjara dan berpotensi akan terjadi kekacauan dari dalam penjara melihat dari sumpeknya lingkungan serta kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola lembaga permasyarakatan.
Permasalahan lainnya yang perlu diperhatikan adalah permasalahan lemahnya pengwasan lapas dimana saat ini lapas dapat digunakan untuk mengendalikan peredaran narkoba seperti yang terjadi pada kasus Freddy Budiman, serta pertanyaan akan integritas petugas lapas dalam mengelola sesuai dengan tujuan berdirinya lapas.
Lapas yang di Indonesia berada di bawah pengelolaan Kementerian Hukum dan Ham serta adanya rumah tahanan yang dikelola oleh kepolisian dan penegak hukum lainnya seharusnya menjadi tugas institusi tersebut dalam mengelola penjara di Indonesia.
Terjadinya kasus-kasus dimana tahanan melarikan diri dan dari penjara menunjukkan bahwa ada sebuah kekurangan dalam pengawasan yang dilakukan pada para tahanan sehingga hal seperti ini berulang terus menerus. Situasi seperti ini tentunya dapat memberikan efek kekhawatiran bagi masyarakat yang tinggal di daerah dekat dengan lembaga permasyarakatan dan dapat berakibat pada kondisi insecure yang akan dialami oleh masyarakat.
Masalah yang ada di dalam lapas juga tidak lepas hanya berada pada pelayanan dalam Lapas terhadap para tahanan dan juga narapidana, hal ini dikarenakan pelayanan dari pihak Lapas menjadi penting bagi memenuhi kebutuhan primer tahanan.
Contohnya adalah kualitas makanan yang baik, sanitasi yang bersih, lingkungan yang memberikan kesempatan bagi pelaku kriminal mengalami rehabilitasi dan keahlian yang dapat digunakan suatu ketika mereka telah bebas dari penjara.
Masalah pelayanan menjadi krusial di masa sekarang dengan adanya media yang dengan mudahnya untuk mengangkat sebuah pemberitaan dan masalah seperti ini dapat memberikan efek buruk bagi penegakkan Hak Asasi Manusia di dalam penjara.
Sebelumnya pada kasus pembakaran sebuah lapas oleh penghuni di dalamnya memberikan sebauh warning bagi penegak hukum dimana kontrol dipeang oleh para tahanan dan narapidana bukan dipegang oleh pihak yang seharusnya menangani hal tersebut.
Salah satu kejadian yang terjadi belakang ini terjadi di Lemaga Permasyarakatan Kelas IIA di Pontianak. Mengetahui adanya sidak yang dipimpin oleh Menteri Yasonna Laoly dan dengan dikawal oleh personil Polri di dalam lapas. Kejadian yang mencekam ini dilakukan dengan melakukan aksi pembakaran di area blok mereka serta melempari petugas dengan kayu.
Masalah serupa terjadi di Lapas Bengkulu yang berakibat pada jatuhnya korban yang berjumlah lima orang usai terjadi kerusan pada 25 Maret 2016 serta adanya pembakaran meyebabkan blok A, B, dan C terbakar habis.
Serupa dengan kasus di Pontianak, pembakaran dipicu oleh penggeledahan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bengkulu. Dua kejadian ini seharunya menjadi jawaban bagaimana sel penjara tidak mampu membuat para pelaku kriminal lebih baik dibanding sebelumnya dan menjadikan penjara sebagai efek penggentarjeraan bagi pelaku kejahatan.
Seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2006 dimana jumlah penjara meningkat drastis dibanding dengan angka kejahatan yang menurun yang merupakan efek dari reformasi sentencingdari tahun ke tahun yang terjadi. Dari perspektif ahli ekonomi dimana tuntutan penjara yang lebih lama dapat memberikan efek jera yang lebih besar dikarenakan waktu yang harus dibayar oleh pelaku kriminal dalam menjalani hukuman.

Efektivitas Hukuman Penjara di Indonesia

Setelah melihat masalah yang terjadi di dalam penjara dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi para tahanan dan juga narapidana yang tinggal di dalam sel jerujinya dalam sub-bab selanjutnya mengenai efektivitas hukuman penjara. Efektivitas disini tidak hanya dilihat berdasarkan oleh biaya semata namun efektivitasnya dari segi sosial dan apakah penjara mampu memperbaiki human being yang sudah divonis rusak oleh pengadilan atau masyarakat,
Berlanjut dari peryataan kalimat akhir subbab 3.1 mengenai efek gentar dari pemenjaraan yang diberlakukan bagi para pelaku kriminal dan juga bagaimana penjara dapat menjauhkan mereka yang sudah pernah mendiami penjara untuk tidak kembali masuk ke dalam balik jeruji sel.
Namun hal ini dapat dipatahkan dimana dikenal istilah residivis yaitu mereka yang sudah terbiasa keluar masuk penjara dan memberikan mereka sebagai pelaku kejahatan atau bisa dikenal dengan istilah karir kriminal.
Situasi seperti ini menyebabkan muncul pertanyaan apakah penjara cukup efektif dalam memberikan pengembalian sesorang untuk tidak berbuat jahat ataupun cukup untuk mengajak pelaku kriminal untuk tidak melakukan tindakan yang sama di kemudian hari.
Robert Johnson mengeluarkan sebuah puisi yanng berisikan tentang pendirian penjara yang bukan day-care dan saat penjara sudah dibangun, dan para pelaku telah masuk ke dalam penjara seolah-olah masalah sudah selesai sampai saat itu dengan tidak memperhatikan penjara dan seisinya.
Bahkan menurut beberapa ahli, penjara merupakan bentuk penyerangan terhadap jiwa seseorang dimana efek utama yang dirasakan oleh sesorang dalam kehidupan dalam penjara adalah bukan fisik namun jiwa manusia tersebut.
Penggunaan penjara yang pada awalnya diliat sebagai bentuk penghukuman yang lebih manusiawi dibandingkan penghukuman korporal tidak dianggap sebagai hal yang reformatif.
Sehingga efektivitas hukuman penjara dan efek sampingnya bagi jiwa manusia perlu dikaji di masa depan melihat jumlah biaya dan bentuk lain yang lebih konstruktif dalam memberikan pelajaran terhadap pelaku kejahatan.

Penjara di Kemudian Hari

Hukuman penjara yang merupakan salah satu bentuk penghukuman memberikan pemahaman mengenai kondisi penjara dan tahanan serta narapidan yang menjalani masa hukumannya di dalam penjara. Permasalahan yang muncul di dalam penjara adalah bagaimana interaksi yang terjadi antara inmate memiliki jalinan yang kuat sehingga saat ada rasa belonging antara tahanan satu dan yang lainnya.
Dari sinilah dapat terjadi pertukaran informasi dan pembelajaran dari seorang pelaku kriminal terhadap pelaku kriminal lainnya yang memberikan kesempatan seorang untuk naik kelas dalam perbuatan melanggar hukum. Kehidupan dalam penjara ini akan memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan perilaku-perilakunya untuk memainkan peran yang telah disusun seperti drama.
Sering dijumpai para tahanan yang setelah masuk ke dalam lapas akan menjadi lebih soleh dan lebih dekat kepada Tuhan untuk memberikan impresi sendiri sebagai bentuk usaha mencapai kepentingannya.
Permasalahan yang tadi telah dibahas perlu dilihat lebih spesifik dimana untuk menemukan apa akar dari masalah yang tercipta seperti pembakaran lapas, kapasitas lapas yang melebihi batas tampung dan praktek suap yang terjadi dalam lembaga permasyarakatan.
Dalam hal efektivitas dari penjara untuk memberikan satu jalan bagi pelaku kriminal untuk kembali ke jalan yang benat dengan tidak melakukan hal-hal melanggat aturan yang menimbulkan korban perlu dikaji lebih lanjut.
Dimana hal ini bisa jadi adalah sebab mengapa kapasitas lembaga permasyarakatan melebihi kapasitas yang telah dibuat sebelumnya. Menambah bangunan penjara untuk mengatasi hal ini bukan berarti akan memastikan seseorang yang akan masuk penjara akibat perbuatannya berkurang.
Sehingga untuk mengatasi masalah efektivitas hukuman penjara perlu dilihat alternatif hukumsn lsin ysng cocok dengan sosiologis masyarakat Indonesia dan kegunaannya dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia.
Dengan seperti ini nantinya diharapkan penghukuman penjara akan dapat berkurang khususnya pada kasus-kasus ringan yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus dibawa ke pengadilan yang juga memerlukan biaya besar.
Contoh kasus pengembangan napi untuk menjadi warga binaan yang terampil agar tidak terjadinnya residivis di kemudian hari


Penghuni Lapas Cipinang Dapat Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi













Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menggelar pelatihan keterampilan jasa konstruksi bagi 100 narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang, Jakarta, pada Senin (30/7/2018).
Kerjasama ini bertujuan untuk memberikan pelatihan dan bimbingan teknis kepada warga binaan yang telah menjalani 2/3 masa tahanan, klien yang mendapatkan ketentuan bebas bersyarat, dan juga kepada para petugas pemasyarakatan. Sehingga warga binaan dan petugas memiliki kemampuan dalam bidang jasa konstruksi.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Syarif Burhanudin mengatakan, pemberdayaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang menjadi potensi tenaga kerja konstruksi dapat memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga kerja konstruksi bersertifikat yang saat ini baru berjumlah sekitar 470.789 orang.

Warga Binaan Lapas Klas I Makassar Diberi Pelatihan Pertukangan


MAKASSAR - Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Gunung Sari Makassar diberi pelatihan pertukangan. Di hari pertama, Selasa (28/08/2018), sedikitnya 100 warga binaan mengikuti pelatihan yang dikerjasamakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Kepala Pengamanan Lapas Klas I Makassar, Mutzaini mengatakan, pelatihan ini dibagi menjadi dua kelompok kerja yang disesuaikan dengan kemampuan para warga binaan, seperti keahlian tukang batu, kayu, besi dan las.

Pelatihan ini kata dia berlangsung selama tiga hari hingga 30 Agustus pekan ini.

"Kegiatan pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari salah satu lingkup kerja sama tentang peningkatan kapasitas bagi petugas dan warga binaan pemasyarakatan di bidang jasa konstruksi berdasarkan MoU/perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani, pada tanggal 27 Juli 2018, di Nusakambangan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (28/08/2018).

Sebagai dasar pelatihan, para warga binaan diberi pemahaman tentang konstruksi bangunan. Misalnya cara memasang batu yang benar dan penggunaan alat-alat bangunan lainnya. Kemudian mereka diharap untuk membangun pondasi perkebunan di lapas sebagai penerapan materi konstruksi yang diterima.

"Kegiatan ini dilaksanakan di sekitar halaman perkebunan Lapas Makassar yang ditargetkan dalam 2 hari kedepan warga binaan yang tergabung dalam pelatihan ini dapat mempunyai kompetensi yang bisa dimanfaatkan ketika kembali ke masyarakat," terang Mutzaini.

"Dan sertifikat yang diberikan pada warga binaan juga dapat menunjang mereka sebagai tenaga terampil (tukang) yang berlaku selama 3 tahun dan tercatat pada sistem daya naker yakni sistem terintegrasi yang dikembangkan oleh Kementerian PUPR guna mencatat data tenaga kerja," kuncinya.

Warga Binaan Lapas Dapat Pelatihan Wirausaha



NERACA
Jakarta – Kementerian Perindustrian terus berupaya mengembangkan Wira Usaha Baru (WUB) khususnya di sektor industri kecil dan menengah. Sejalan dengan hal tersebut, Kemenperin sudah sejak lama menjalin kerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan program pelatihan keterampilan kepada warga binaan lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia.
“Kami menargetkan penumbuhan wirausaha baru sebanyak 5000 orang pada tahun 2017 dan 20.000 orang pada akhir tahun 2019. Karenanya, kerjasama kami dengan Kemenkumham ini mendukung kebijakan pengembangan industri nasional berbasis ekonomi kreatif sekaligus untuk menumbuhkan wirausaha baru,” kata Plt. Sekjen Kemenperin Haris Munandar mewakili Menteri Perindustrian pada pembukaan Pameran Produk Unggulan Narapidana 2017 di Plasa Pameran Industri, Kemenperin, Jakarta, sebagaimana disalin dari siaran pers.
Haris juga menyampaikan, berbagai upaya pembinaan yang telah dilakukan kedua pihak selama ini dapat membangun citra positif bagi warga binaan lapas. Sehingga, mereka diharapkan terus berkarya dan mampu berkompetisi di tengah lingkungan masyarakat setelah selesai menjalani masa pembinaan.
“Kami memberikan apresiasi terhadap tema pameran tahun ini, yaitu Kreativitas Tanpa Batas Meski Tempat Terbatas. Slogan ini menjadi penting dalam upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan mengedepankan penumbuhan wirausaha pemula di sektor ekonomi kreatif,” paparnya.
Haris juga menyatakan, langkah tersebut sesuai dengan misi pembangunan industri ke depan terutama dalam meningkatkan peran industri kecil dan menengah (IKM) sebagai salah satu pilar dan penggerak perekonomian nasional. “IKM memegang peranan penting dalam penguatan struktur industri mendorong pertumbuhan perekonomian nasional,” tuturnya.
Selain menyerap banyak tenaga kerja, IKM juga menjadi sektor vital dalam mendistribusikan hasil-hasil pembangunan di Indonesia sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat. “Oleh karena itu, kami terus mendorong penguatan sumber daya industri dan perluasan pasar produk IKM,” imbuh Haris.
Untuk aspek penguatan sumber daya industri, upaya yang perlu dilakukan meliputi pendidikan dan pelatihan vokasi industri, pemagangan industri, serta sertifikasi kompetensi. Sedangkan, perluasan akses pasar melalui fasilitasi pameran dan program e-smart IKM.
Pameran yang telah dilaksanakan kali kelima ini berlangsung selama empat hari, tanggal 4-7 April 2017 diikuti sebanyak 44 peserta dari 33 Divisi Pemasyarakatan seluruh Indonesia. Berbagai produk unggulan yang ditampilkan, antara lain produk kerajinan, makanan olahan, dan fashion.
Maksud dan tujuan kegiatan pameran ini adalah untuk mengenalkan dan mempromosikan kegiatan pembinaan narapidana di Lapas, memasarkan produk unggulan narapidana dan meningkatkan kerja sama dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembinaan.
Dirjen IKM Kemenperin Gati Wibawaningsih menyebutkan, berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal IKM terkait pemberdayaan warga binaan lapas, di antaranya fasilitasi pameran di Plasa Pameran Industri dengan jumlah lebih dari 180 booth sejak tahun 2013-2016, serta pelatihan kewirausahaan sebanyak dua angkatan dengan jumlah peserta 15 orang di Lapas Kelas IIB Anak dan Wanita, Tangerang, Banten pada 2012.
Selanjutnya, pelatihan wirausaha baru untuk IKM pakaian jadi dan bordir di Lapas Wanita Kelas IIA Palembang, Sumatera Selatan dengan jumlah peserta 15 orang tahun 2014, serta pelaksanaan program bimbingan teknis dan Start Up untuk IKM kerajinan di Lapas di Palu, Sulawesi Tengah dengan peserta 20 orang pada 2015.
“Kami melihat potensi produk karya dari teman-teman warga binaan lapas sudah sangat bagus. Terlebih lagi pada produk kerajinan, banyak yang kreatif,” ujar Gati. Untuk mendukung pemasaran produk tersebut, Kemenperin akan memfasilitasi melalui program e-smart IKM. “Hasil penjualannya nanti akan ditampung oleh Kemenkum HAM agar bisa dikelola untuk kesejahteraan para narapidana,” lanjutnya.
Dalam upaya penumbuhan wirausaha baru khususnya sektor IKM, Gati mengungkapkan, pihaknya telah melakukan program inkubator bisnis dengan melaksanakan kegiatan Bimbingan Teknis, Start-up Capital, Pendampingan, dan Fasilitasi Izin Usaha Industri. “Awal Mei nanti, kami akan melakukan workshop e-smart IKM di Sidoarjo untuk 150 IKM di Jawa Timur. Selanjutnya di Bandung, Jakarta, dan luar Jawa. Tahun ini, ditargetkan delapan lokasi,” lanjutnya
Untuk meningkatkan kualitas produk IKM dalam negeri terjamin standar dan mutunya, Gati menambahkan, Kemenperin telah melakukan pembinaan terhadap IKM dalam bentuk pemberian fasilitasi yang meliputi bimbingan penerapan dan sertifikasi produk, restrukturisasi mesin dan peralatan berupa potongan harga pada pembelian mesin dan peralatan, pemberian izin usaha, pengembangan produk, perlindungan hasil karya industri dengan HKI, serta bantuan informasi pasar, promosi dan pemasaran.
Gati menyampaikan, industri kreatif menyumbang sekitar Rp642 triliun atau 7,05 persen terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2015. Kontribusi terbesar antara lain berasal dari sektor kuliner.


















BAB III PENUTUP
Saran
Dalam penyelesaian suatu permasalahan napi diperlukannya suatu pemahaman yang jelas dan pengembangan yang mumpuni agar setiap napi mendapat pelatihan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga napi tersebut dapat dengan baik di kembangkan. Kemudian perlunya pengembangankepada masyarakat juga pengertian seorang napi dan yang telah bebas tahanan karena kemungkinan napi yang telah menyelesaikan hukumnya mendapat lebelling di dalam masyarakat, untuk itu perlunya pembenahan dan sosialisasi juga kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti tujuan yang sebenarnya dari hukuman yang diterima si Napi sehingga masyrakat juga sadar diri sehingga tidak timbulnya Residivis kepada si napi oleh karena masyrakat sebaliknya masyrakat pada akhirnya dapat memberi tempat kepada eks napi, karena kita tahu bersama bahwa cap yang sangat jelek di dapat oleh eks napi oleh masyarakat kita sehingga sulit untuk bersosialisasi dalam masyrakat.












Kritik
System lapas di Indonesia perlu dibenahi karena berbagai literature dan berita yang di dapat bahwa system lapas di Indonesia belum terposisi dengan baik dan pengolahan yang sangat kurang apalagi lapas memiliki warga yang over atau melebihi sehingga kurangnya pembinaan yang baik oleh karena iru pemerintah juga harus andil terhadap rencana perbaikan lapas, sehingga dapat mengurangi dan menyadarkan si napi dan dapat mengubah diri lewat pembinaan di di lapas

















Kesimpulan
 Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang lebih bersifat sosialis dan kekeluargaan untuk itu sebuah permasalahan akan semakin pelik jika suatu hal dianggap tidak bagus padahal dalam proses pelaksanaan pembinaan di dalam lapas adalah semata-mata memanusiakan si napi sehingga tujuan akhir si Napi adlah dapat mengembangkan dirinya menjadi lebih baik kemudian mencegah terjadinya residivis lewat pelatihan-pelatihan keterampilan di dalam lapas. Namun di negara kita stigma negative masih saja menjadi permasalahan utama seorang yang telah terpidana.
Pemerintah sudah melakukan perbaikan di dalam lapas melalui pelatihan-pelatihan sehingga si napi mempunyai pegangan dan mempunyai keterampilan yang kemudian dapat memenuhi kebutuhannya sehingga mencegah munculnya residivis oleh karena itu peran pemerintah memberikan fasilitas dan pelatihan dalam bidangya masing masing adalah sangat perlu karena kita ketahui pelaku tindak pidana kejahatan yang lebih banyak adalah yang dilakukan kelas bawah dan masalah yang paling sering adalah pencarian suatu nafkah baik untuk dirinya maupun untuk orang lain sehingga menimbulkan suatu permasalan baru yaitu pencurian dan hal-hal lain. Kita ketahui dalam masalah pidana tidak hanya melulu tentang masalah tentang memenuhi nafkah tetapi dalam masalah ini penulis lebih mempermasalah kan hal tersebut.







Daftar Pustaka
https://lpkedungpane.com/profil/tujuan-sasaran/
https://ngada.org/uu12-1995pjl.htm
https://www.researchgate.net/publication/320557561_Pengertian_dan_Sejarah_Singkat_Pemasyarakatan
http://www.negarahukum.com/hukum/lembaga-pemasyarakatan.html
https://www.payungmerah.com/efektivitas-penjara-di-indonesia-part-ii/
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3604206/penghuni-lapas-cipinang-dapat-pelatihan-tenaga-kerja-konstruksi
http://www.neraca.co.id/article/83461/warga-binaan-lapas-dapat-pelatihan-wirausaha
https://www.payungmerah.com/efektivitas-penjara-di-indonesia-part-ii/


Rabu, 31 Oktober 2018

Penyelesaian Masalah Dalam Kepailitan


Penyelesaian Masalah di Dalam Kepailitan



Sugeng Susila SH, MH.
 





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017/2018


Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan berkat yang masih dapat kita rasakan, oleh karena kebaikan-Nya saya dapat menyelesaikan tugas Hukum Dagang  ini dengan baik. Adapun judul tugas saya  adalah   berjudul “ Penyelesain Masalah Daam Kepilitan”.
            Kita ketahui bersama kemajuan teknologi yang semakin pesat menuntun masyarakat yang harus dapat mengungguli kemmajuan zaman tersebut agar dapat bersaing dan mengikuti pekembangan zaman. Semakin kompleksnya teknologi mendorong terciptanya suatu Undang-undang yang juga harus dapat mengikuti kemajuan tersebut apalagi pada system Hukum Kepailitan yang semkin kompleks pula ditambah kemajuan teknologi yang dapat mendorong terjadinya suatu celah untuk melakukan suatu pelanggaran yang menguntungkan diri sendiri dan/ atau orang lain yang kemudian merugikan masyarakat dan negara. Hukum Kepailitan merupakan suatu wadah yang bertujuan memajukan bangsa karena dalam hal kepailitan ini akan membantu pihak pihak yang terkait di dalamnya agar semakin menhetahui hak dan kewajiban masing masing debitor dan kreditor agar tidak terjadi suatu itikad yang tidak baik oleh masing-masing pihak dalam penyelesaiannya serta membantu para Kurator, Hakim, Bapepam, dan pihak pihak lain yang ikut di dalamnya agar terjadi suatu kejelasan yang nyata. Oleh sebab itu makalah menyajikan penyelesaian masalah dalam kepailitan yang terjadi agar mengetahui apa saja yan mestu dilakukan jika ada pihak pihak yang dilanda pailit. Penulis berusaha agar pembaca dpat mengetahui dengan jelas beberapa penyelesaian suatu kepailitan agar dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
            Saya sebagai penlis makalah ini memohon maaf jika ada kesalahan yang ada di dalam makalah ini dan saya juga memohon gar pembaca juga menilai dan memberi saran kepada makalah saya ini.



                                                                                                            Pontianak, 04 Juni 2018


Priyade Sinaga

Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………………….I
Daftar Isi……………………………………………………………………………….II
BAB I PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah…………………………………………………………… 1
Rumusan Masalah ………………………………………………………………...2
Tujuan  Penulisan……………………………………………………………….....3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kepailitan………………………………………………………….4
B.     Masalah Dalam Kepailitan……………………………………………………5
C.     Penyelesaian Masalah Dalam Kepailitan……………………………………..11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan …………………………………………………………….……13
Saran…………………………………………………………………………14
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….…15




BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah
    Dewasa ini kita telah melihat banyaknya permasalahan dalam dalam dunia kepailitan dalam penyelelesaiannya terkadang banyak para pihak yang terkait yang didalamnya lebih banyak beralih ke penyelesaian lain seperti Arbitrase. Hal ini merupakan suatu kesalahan yang perlu di selesaikan dalam masalah Kepailitan. Apalagi kita ketahui bersama pada saat ini merupakan perkembangan teknologi yang seharusnya mendorong suatu perubahan Hukum kepailitan yang lebih komleks adan up to date dalam penyelesainnya agar terjaminnya suatu hak dan kewajiban debitur maupu kreditur dan masing-masing pihak yang terkait di dalamya
   Saya melihat permasalahan suatu Hukum Kepailitan yaitu perlunya percepatan dalam penyelesaian masalah tersebut dan perlunya suatu hakim yang llebih mumpuni dalam menyelesaikan setiap permsalahan hukumya. Beberapa professional banyak mengkritik perlunya pembarua suatu Undang- Undang kepailitan karena merupakan salah satu modal oleh para pemilik usaha jika hal-hal yang tiak diinginkan terjadi kedepannya, tentunya setiap pengusaha tidak meninginkan usahanya pailit tetapi menjaga kemungkinan agar utang tersebut dapat diselesaikan oleh sisa material dari perusahaannya.
Dalam hal ini penulis melihat adanya suatu pembariuan dalam Undang-Undang Kepailitan Karen Undang-Undang ini juga sudah berumur 20 tahun dan mestinya diperlukan pembaruan yang lebih baik agar terjdinya suatu kejadian yang dapat di tanngulangi dan bermanfaat bagi kreditur maupun debitor kedepnnya

Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Kepailitan
2. Apa saja masalah yang sering terjadi dalam Kepailitan 
3. Apa  yang menjadi penyelesaian masalah dalam Kepailitan



















Tujuan Penulisan
1. Pembaca mengetahui pengertian Kepailitan
2. Pembaca mengetahui  masalah yang sering terjadi dalam Kepailitan 
3. Pembaca mengetahui penyelesaian dalam masalah Kepailitan



















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepailitan
1.      Pengertian dari bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan antara lain, keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan, kepailitan menurut UU Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.[1]
2.      Pengertian Kepailitan adalah suatu keadaan yang di mana debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempi dan dapat ditagih sehingga debitur yang bersangkutan dapat memohon sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya ke pengadilan untuk dinyatakan pailit. Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksan, memutuskan dan juga menyelesaikan kasus kepailitan.[2]
3.      Definisi kepailitan berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawasan sebagaimana diatur dalam undang–undang ini.


4.      Defiinisi kepailitan menurut para ahli yaitu, kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara adil (R. Subekti, 1995: 28). Kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit (H.M.N Puwosutjipto, 1993: 28).  
5.      Kepailitan adalah keadaan seorang debitor berhenti membayar utang-utangnya, istilah berhenti membayar tidak mutlak harus diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utangutangnya, tetapi debitor dapat dikatakan dalam keadaan berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke pengadilan, debitor berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya (Zainal Asikin, 2002: 27).
6.      Pailit adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditornya atau agar harta tersebut dapat dibagi–bagi secara adil antara para kreditor (Munir Fuady, 2005: 8).[3]





B. Masalah Dalam Kepailitan
Jika merujuk UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), proses penyelesaian perkara kepailitan hingga kasasi di selesaikan dalam waktu 120 hari. Pasal 8 angka 5 menyebutkan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60  hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Sementara dalam Dalam pasal 13 angka 3 menyebutkan bahwa putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima  Mahkamah Agung. (Baca juga: Proses Sidang Lama, Peringkat Penyelesaian Kepailitan Turun). 
Kurator senior yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) J. James Purba mempertanyakan barometer yang digunakan untuk menentukan peringkat kepailitan di EODB. Jika hanya merujuk pada proses penyelesaian perkara di pengadilan, hal tersebut dinilai kurang pas
James menilai jangka waktu proses kepailitan di pengadilan niaga sudah ditentukan oleh UU Kepailitan. Pengadilan Niaga pun, lanjutnya, cenderung cepat mengeluarkan putusan kepailitan ataupun PKPU, sesuai dengan UU Kepailitan. Namun kendala utama dalam menyelesaikan perkara kepalititan justru terletak pada pasca putusan atau recovery pasca putusan.

“Kalau cuma masalah persidangan mungkin tidak terlalu pas. Tapi kalau yang dimaksud itu adalah recovery setelah kepailitan itu ‘kan tidak bisa dipastikan karena satu pemberesan kepailitan itu ada mekanismenya,” kata James kepada hukumonline, Senin (09/1).
Recovery pasca putusan pengadilan, jelas James, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Ia mencontohkan kasus pailit Adam Air yang hingga saat ini belum selesai karena aset tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, lanjutnya, akan berbeda dengan kepailitan perusahaan yang memiliki sedikit aset atau tanpa aset yang penyelesaiaanya tidak membutuhkan waktu yang panjang.
Persoalan waktu itu diutarakan James melalui beberapa mekanisme yang harus dilakukan kurator dalam membereskan harta pailit. Dalam UU Kepailitan, lanjutnya, penjualan harta pailit harus melalui mekanisme lelang, bahkan sebelum lelang dibuka untuk umum harta harus dinilai terlebih dahulu. Menyoal penjualan ini UU tidak membatasi waktu dan tidak bisa dipaksakan. Jika proses lelang tidak berhasil, maka kurator diberikan hak untuk menjual di bawah tangan, tentunya dengan persetujuan hakim pengawas terlebih dahulu.
 “Kalau dengan mekanisme lelang, tidak bisa (penyelesaian kepailitan). Jadi bahkan kalau sudah dilelang dengan harga pasar, tidak laku juga maka dijual dengan nilai liquidasi,” tambahnya.
Diakui oleh James bahwa proses kepailitan agak sedikit panjang ketika masuk ke ranah kasasi di Mahkamah Agung (MA). Tetapi ia menduga bahwa penyebab molornya putusan di tingkat kasasi disebabkan oleh proses pengiriman berkas pengadilan niaga ke MA membutuhkan waktu. Sehingga, waktu yang dibutuhkan melebihi aturan UU Kepalitian yakni 60 hari. Yang terpenting, lanjut James, molornya putusan melewati tenggat waktu di UU Kepailitan tidak menyebabkan putusan batal demi hukum. (Baca juga: Upaya Hukum Jika Hakim Menolak Surat Dakwaan).
Jika barometer rangking kepailitan dalam EODB salah satunya adalah recovery pasca putusan kepailitan, maka James juga memiliki catatan agar proses kepailitan menjadi lebih ringkas, terutama dari sisi pelaksanaan pasca putusan. Selain lelang, salah satunya adalah mengenai hak kreditur separatis.




“Kalau di UU kepailitan ‘kan kepada pemegang hak agunan kebendaan dengan sebutan kreditur separatis. Kepada mereka diberikan hak menjual selama dua bulan setelah dinyatakan insolvensi. Jadi setelah dinyatakan insolven dan dia tidak melakukan eksekusi maka hak ekseskusi jatuh ke tangan kurator,” tutur James.
Tetapi persoalan muncul ketika kreditur separatis sudah melakukan eksekusi, namun tidak dibatasi waktu. Hal ini menjadi masalah pasca putusan pailit karena setelah eksekusi dilakukan, kreditur separatis memiliki kewajiban untuk melaporkan hasil eksekusi kepada kurator. Kurator membutuhkan waktu. Di sinilah mungkin dipertegas batas waktunya.
“Supaya dalam waktu kurun waktu tersebut kurator harus melakukan segala upaya untuk mencairkan segala aset. Jadi jangan karena tidak ada jangka waktu tidak ada keharusan segera menyelesaikan. Banyak perkara yang terkatung-katung,” ungkapnya[4]

Revisi UU Kepailitan menjadi salah satu harapan dari Kurator dan Pengurus di Tanah Air karena sejumlah alasan. Mantan Ketua AKPI, Ricardo Simanjutak, dalam kesempatan yang sama memaparkan sejumlah persoalan dalam pelaksanaan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Permasalahan tersebut antara lain belum adanya kepastian hukum dan keseragaman dalam memahami dan mengimplementasikan pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Selain itu, permasalahan yang lain adalah belum disiplinnya Pengadilan Niaga (khususnya di tingkat MA) dalam mengimplementasikan Time Frame pemeriksaan dan putusan perkara dan juga penyampaian salinan putusan bagi para pihak; belum jelasnya kapan debitor pilit dapat dinyatakan insolven; belum adanya kepastian batasan hak dan kewenangan curator dengan Hakim Pengawas dalam tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit/PKPU.
Ricardo menambahkan, belum adanya kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Kurator; belum jelasnya batasan aspek perdata dan pidana dari kepailitan/PKPU; dan belum tegasnya pelaksanaan hak-hak kreditor separatis, keditor pajak, kreditor dengan hak retain dan kreditor buruh sehubungan dengan pembagian hasil penjualan bedol pailit. (Baca juga: Kurator Jangan Berlagak Seperti Advokat)
Sedang yang terakhir, tidak jelasnya penerapan hak debitor pailit dalam mengajukan usulan perdamian setelah pailit. Masih terkait persoalan UU Kepilitan, Mantan Hakim Niaga, Parwoto Wignjosumarto, menambahkan, Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitanharus diubah sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat (2) UU OJK. Sejak 31 Desember 2012, kewenangan Bank Indonesia beralih ke OJK.
Selain itu, pasal 2 ayat (4), (5) juga harus diubah sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU OJK, sejak tanggal 31 Desember 2012, kewenangan Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan beralih ke OJK.Parwoto juga mengatakan perlu penegasan status/jenis perkara permohonan pernyataan pailit, apakah perkara permohonan (voluntair) ataukah Perkara gugatan (contentiosa).
“Pasal 11 dan Pasal 12 UU Kepailitan mendudukkan ppemohon kasasi dan termohon kasasi sebagai pihak berperkara, yang berarti status perkara permohonan pailit adalah perkara gugatan,” terang Parwoto.
Pasal 178 ayat (1), Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
Menurut UU Kepailitan, setelah insolvensi diteruskan dengan proses pemberesan sebagaimana maksud Pasal 185 ataupun Pasal 59 ayat (1) bagi pemegang hak tanggungan. UU Kepilitan tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 40 Tahun 2007, perseroan bubar karena keadaan insolvensi.[5]


Secara rinci dapat diketahui bahwa:
1.      Proses penyelesaian perkara di pengadilan, hal tersebut kurang pas
2.      Persoalan waktu melalui beberapa mekanisme yang harus dilakukan kurator dalam membereskan harta pailit.
3.      kepailitan agak sedikit panjang ketika masuk ke ranah kasasi di Mahkamah Agung (MA).
4.      adanya kepastian hukum dan keseragaman dalam memahami dan mengimplementasikan pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan,
5.      permasalahan yang lain belum disiplinnya Pengadilan Niaga (khususnya di tingkat MA) dalam mengimplementasikan Time Frame pemeriksaan dan putusan perkara dan juga penyampaian salinan putusan bagi para pihak;
6.      belum jelasnya kapan debitor pilit dapat dinyatakan insolven;
7.      belum adanya kepastian batasan hak dan kewenangan curator dengan Hakim Pengawas dalam tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit/PKPU.
8.      belum jelasnya batasan aspek perdata dan pidana dari kepailitan/PKPU;
9.      belum tegasnya pelaksanaan hak-hak kreditor separatis, keditor pajak, kreditor dengan hak retain dan kreditor buruh sehubungan dengan pembagian hasil penjualan bedol pailit.







C. Penyelesaian Masalah Dalam Kepailitan
Penyelesaian pembagian sisa harta pailit kreditor konkuren berdasarkan Undang - undang dan praktek nya dalam Pengadilan Niaga:
Pasal 1131 KUHPER
Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.
Pasal 1132 KUHPER
Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang
Oleh karena itu dapat disimpulkan dalam praktek pengadilan niaga, penyelesaian pembagian sisa harta kreditor konkuren harus berbagi dengan kreditor lainnya secara proporsional dari hasil penjualan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Pada prakteknya, sering ditemukan bahwa kreditor konkuren mendapatkan posisi terakhir dari pembagian budel pailit.
Kreditor separatis adalah kreditor pemegang jaminan hak kebendaan, sedangkan kreditor preferen adalah kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan-PKPU”), kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Oleh karena itu pemberesan harta pailit antara kreditor konkuren dan pemberesan pailit kreditor separatis dan kreditor preferen itu berbeda.
Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata.
Pemberesan harta debitor pailit dilakukan oleh kurator. Berdasarkan Pasal 1 angka (5) UU Kepailitan-PKPU, pengertian kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini. Kemudian, berdasarkan Pasal 16 UU Kepailitan-PKPU, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
    Perlunya pembaruan Undang-Undang dalam penyelesain Hukum Kepailitan dalam waktu dekat ini karena Undang-undang yang lama sudah  tidak fektif dan efisien lagi Karena kemajuan zaman yang mendorong penyelesaian yang lebih cepat.  Tentunya masalah ini dapat diselesaikan karena kemajuan teknologi juga mendorong perbaikan dalam masalah hukum. Apalagi di dalam perusahaan yang tentunya menggunakan teknologi dalam, penyelesaian data-data dalam perusahaanya, keuntungan, dan kerugian perusahaannya dapat dilihat dengan jelas walaupun kemungkinan penyelundupan data tetapi hal tersebut dapat di cari dengan kecanggihan technology. Penyelesaian masalah kepailitan yang sekarang perlu di update untuk mempermudah segala macam penyelesaian kedepannya.
  
Saran
    Agar pemerinta semakin sadar perlunya pembaruan suatu Undang-Undang agar investor asing juga merasa nyaman dalam menjalankan bisnisnya terlebih  kepada pengusaha-pengusaha local yang menjadi semakin merasa terlindungi akan hak dan tanggung jawab jika suatu pailit terjadi.
 















Daftar Pustaka
Leks dan Co “Pengertian dan Syarat Kepailitan” hukum kepailitan, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 22.52WIB, http://www.hukumkepailitan.com/pengertian-kepailitan/pengertian-dan-syarat-kepailitan/
DMCA.com “Pengertian Kepailitan dan Prosedur Permohonannya” Informasi Ahli, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul  22.57 WIB, http://www.informasiahli.com/2015/08/pengertian-kepailitan-dan-prosedur-permohonannya.html
Suduthukum.com, “Defenisi Kepailitan”, Perdata, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.00 WIB, https://www.suduthukum.com/2016/09/definisi-kepailitan.html

HukumOnline.com, “Masalah Kepailtan Ada Di luar Proses Sidang”, berita, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.09 WIB, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58760a88bd879/masalah-kepailitan-ada-di-luar-proses-sidang.

HukumOnline, “Sejumlah Persoalan Hukum Mendesak Adanya Revisi UU Kepailitan” berita, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.14 WIB, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58e7479bed0be/sejumlah-persoalan-hukum-mendesak-adanya-revisi-uu-kepailitan.


Leks n Co, “Penyelesaian Pembagian Harta Pailit Kreditor Dalam Kepailitan”. Lembaga Bantuan Hukum, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.52, http://www.lembagabantuanhukum.org/kepailitan/penyelesaian-pembagian-harta-pailit-kreditor-dalam-kepailitan/.





[1] Leks dan Co “Pengertian dan Syarat Kepailitan” hukum kepailitan, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 22.52WIB, http://www.hukumkepailitan.com/pengertian-kepailitan/pengertian-dan-syarat-kepailitan/

[2] DMCA.com “Pengertian Kepailitan dan Prosedur Permohonannya” Informasi Ahli, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul  22.57 WIB, http://www.informasiahli.com/2015/08/pengertian-kepailitan-dan-prosedur-permohonannya.html

[3] Suduthukum.com, “Defenisi Kepailitan”, Perdata, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.00 WIB, https://www.suduthukum.com/2016/09/definisi-kepailitan.html
[4] HukumOnline.com, “Masalah Kepailtan Ada Di luar Proses Sidang”, berita, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.09 WIB, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58760a88bd879/masalah-kepailitan-ada-di-luar-proses-sidang.
[5] HukumOnline, “Sejumlah Persoalan Hukum Mendesak Adanya Revisi UU Kepailitan” berita, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.14 WIB, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58e7479bed0be/sejumlah-persoalan-hukum-mendesak-adanya-revisi-uu-kepailitan.
[6] Leks n Co, “Penyelesaian Pembagian Harta Pailit Kreditor Dalam Kepailitan”. Lembaga Bantuan Hukum, diakses pada tanggal 02 Juni 2018 pukul 23.52, http://www.lembagabantuanhukum.org/kepailitan/penyelesaian-pembagian-harta-pailit-kreditor-dalam-kepailitan/.